I Miss You, Mom!

Title     : I Miss You, Mom !

Genre  : Family, Sad, Romance

Main Cast: Lee Hyun Ae, Park Sejin, Kim Jongwoon, Kim Jongin

Length : Oneshot

Rating : PG

Auhtor : Chang Nidhyun (@nidariahs)

Lyric : 98 degrezz – My Everything

***

 

“The Loneliness of nights alone

the search for strength to carry on

my every hope has seemed to die

my eyes had no more tears to cry

then like the sun shining up above

you surrounded me with your endless love

Coz all the things I couldn’t see are now so clear to me”

 

***

 

Gadis itu masih termangu di tempatnya. Seperti biasa, ketika senja sedang menjelma, ia ikut duduk dan menikmati hangatnya mentari yang mulai meredup, dan menyusuri sunyi yang mengungkunginya. Tidak. Gadis itu tidak pernah berhenti untuk berharap. Meskipun waktu telah menyeretnya hingga berada di titik ini, gadis itu tidak pernah mencoba untuk mendalami rasa lelah yang mulai menggerayanginya. Semua tidak buruk, itu yang selalu di pikirkannya. Karena hanya ada satu orang yang selalu membuatnya untuk tetap kuat.

Gadis itu semakin erat memeluk kedua lututnya. Ia tidak akan menangis, ia akan menjadi anak yang baik, ia akan membanggakan semua orang, dan ia akan melakukan apapun agar orang yang ditunggunya selama ini akan datang dan tersenyum hangat ke arahnya. Merengkuh tubuh ringkihnya dan membawanya ke dalam pelukan hangat orang itu, kemudian dengan sepuas-puasnya ia akan menangis di bahu orang itu, dan menghirup aroma yang selama ini hampir tak pernah terendus lagi oleh indra penciumannya.

Aku begitu merindukanmu, Eomma ~

Tidak peduli bagaimana dengan kesepian yang menjajahnya, tidak peduli dengan semua kerja kerasnya agar tetap bisa berdiri dan menapak di bumi yang kejam ini, tanpanya…ia akan tetap bertahan hingga ia bisa berada di sisi wanita itu lagi. sama seperti janjinya dulu, ketika dengan terpaksa membawanya pada sebuah rumah dan memaksanya untuk tinggal disana dengan anak-anak lain. Tidak masalah, karena Hyun Ae selalu percaya, ia akan kembali dan tidak pernah melupakannya. Hanya saja, waktu belum siap untuk mempertemukan mereka berdua. Ya, masalahnya hanya waktu. Dan Hyun Ae akan selalu bersabar untuk menanti waktu yang sudah siap kelak.

 

***

 

Tubuh kurus itu mencoba untuk terus berjinjit mengintip ke arah papan pengumuman yang mendadak di sesaki oleh hampir separuh dari teman seangkatannya. Teman? Jika Hyun Ae layak menjadi teman dan mereka mau menganggapnya teman, maka Hyun Ae akan menyebut mereka teman, dengan tidak senang hati.

Belum kelihatan. Hyun Ae mendengus lelah, kemudian ia kembali berjinjit sambil mencoba menyingkirkan anak-anak rambut yang mulai mengganggu kenyamanannya. Dan sebersit pikiran konyol timbul di otaknya, mungkin memotong rambut sepunggungnya dan di cepak bukan ide buruk.

“Kau lulus,” ucap sebuah suara dari arah kanan. Sontak, Hyun Ae menurunkan kakinya yang pegal dan menoleh ke arah samping kanan. Laki-laki tinggi yang begitu di kenalnya tersenyum ramah ke arahnya, seperti biasa.

Hyun Ae hendak membuka mulutnya, mengatakan sesuatu. Tapi ia kembali mengatupkan mulutnya dan memilih kembali berjinjit. Ia tidak ingin percaya begitu saja jika ia belum memiliki bukti nyata. Dan bukti nyata yang dibutuhkan Hyun Ae saat ini adalah, melihat langsung hasil pengumuman itu.

“Kau tidak percaya padaku? Sudah kukatakan, kau lulus.” Laki-laki itu masih saja berbicara, berharap gadis dingin yang selalu di anggap bisu itu mau mendengarkannya. Dan Hyun Ae memang melihat ke arah Jong In –nama laki-laki itu, tapi ia sama sekali tidak merespon apapun selain menatapnya.

Dan Hyun Ae kembali berjinjit, ingin memastikan sekali lagi.

“Hyun Ae-ya, sudah kubilang kau lulus.” Tegas Jong In sekali lagi. ia mulai agak jengkel sekarang, tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan oleh gadis berkulit pucat itu. Ekspresinya yang selalu datar –sedatar warna cat dinding sekolahnya yang membosankan, membuatnya selalu tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran gadis bernama Hyun Ae itu.

Kali ini Hyun Ae menatap Jong In cukup lama, mencoba untuk mencari keseriusan disana. Dan tentunya, ia tidak mau repot-repot mengeluarkan suara hanya untuk bertanya ataupun memastikan sesuatu. Baginya, menemukan jawaban lewat mata oranglain lebih menyenangkan ketimbang bersuara. Aneh? Jangan salahkan dan jangan bertanya, inilah hidupnya dan ia tidak suka hidupnya di usik dengan komentar bodoh orang-orang tidak penting.

Jong In agak memiringkan kepalanya, “Kau masih tidak percaya?” tanyanya dengan agak tersinggung.

Dan Hyun Ae pun menegakkan bahunya dan sekilas menoleh ke arah papan pengumuan itu sekali lagi. mungkin ia perlu percaya, ia juga tidak pandai menerobos kerumunan orang-orang. Jadi, mendengarkan laki-laki yang hobi merecokinya itu jauh lebih baik mungkin.

“Untuk apa kau khawatir? Kau selalu mendapat juara pertama, bahkan sekarangpun kau mendapat posisi pertama lagi,” Jong In mencoba bergurau pada Hyun Ae. Dan ia berani bersumpah, ia ingin sekali melihat Hyun Ae memberikan reaksi normal layaknya manusia lainnya. Dan sayangnya, saat ini harapannya hanya harapan sampah.

Dengan tega, Hyun Ae melengos pergi tanpa mengindahkan keberadaan Jong In. Ia tidak merasa terganggu dengan Jong In, tapi ia tidak pernah terbiasa untuk terlalu ‘berbaik hati’ pada oranglan. Kejadian beberapa tahun silam, membuatnya memilih undur diri menjadi ‘manusia normal’, seandainya memang ia abnormal saat ini.

“Hyun Ae-ya! kau mau merayakan kelulusan kita?” Hyun Ae mendengus saat tahu Jong In masih mengikutinya dari belakang. Tapi jika Hyun Ae sekali saja menanggapi laki-laki itu, pasti laki-laki ‘player’ itu akan terlalu kegirangan. Dan yang terparah, semakin nekat mengganggunya. Dan Hyun Ae sedang dalam ambang tidak-ingin-dekat-dengan-siapapun.

Dan sepertinya berhasil, ia tak lagi mendengar langkah kaki Jong In. Sekarang ia bisa leluasa sendirian mengungkapkan ekspresi dirinya yang sesungguhnya, pada satu orang yang selalu di percayainya, selain ibunya. Seseorang yang menjadi malaikatnya ketika ia semakin tenggelam dalam larva dunia.

Sambil merebahkan tubuhnya di atas bangku panjang halaman belakang sekolahnya, Hyun Ae mengetuk-ngetukkan jarinya di atas pahanya sendiri. Tidak sabar mendapat sahutan dari seseorang di sebrang sana, hingga akhirnya…

“Yeoboseyo?”

“Oppa!”

 

***

 

“Kau kira aku ini apa Jongwoon?!” teriakan yang memekakan telinga itu menggema di sesisi penjuru rumah yang hanya diisi oleh keluarga kecil di dalamnya. Dan wanita yang berteriak itu, terus saja memandang tajam ke arah pria dengan tampang frustasinya menunduk ke arah lantai.

“Jongwoon! Jawab aku!” teriak wanita itu lagi. ia tidak terima dengan semua sikap pria itu. Mengacuhkannya, mengabaikannya, dan sekarang dengan seenak jidatnya laki-laki itu menyalahkannya yang menurut Jongwoon terlalu egois.

Park Sejin terkekeh hambar, senyum meremehkan itu lolos begitu saja dari bibirnya. Ia sudah lelah dengan semua pertengkaran hebat yang dilaluinya bersama Jongwoon. Mulai dari masalah pekerjaan Sejin yang selalu di kritiknya, soal kecemburuan, perhatian, dan semuanya. Bahkan hal-hal tak penting sekalipun, seperti makan malam bersama untuk memenuhi permintaan putra kecil mereka.

“Kau tahu…” Jongwoon mulai bersuara, tangannya kini mulai sibuk melepas dasi yang rasanya menambah sesak di dadanya, “Kukira, seharusnya dulu aku lebih mendengarkan ibuku…”

Sejin memejamkan matanya. Ini adalah untuk yang kesekian kalinya Jongwoon berkata seperti itu padanya. Dan entah rasa sakit apa lagi yang harus digambarkannya, pria itu sepertinya mulai gila lagi. dan Sejin tebak, laki-laki itu mulai kembali hidup dalam kegelapan dunianya yang lama. Salah satu yang selalu ia hindari, menyesali pernikahannya dengan pria itu, yang sayangnya sering kali ia gagal pertahankan. Dan semuanya berujung dengan rasa sakit yang tidak lagi tertolong.

Sejin memilih mengalah –lagi. entah untuk yang keberapa kali ia mengalah demi pria yang dulu selalu diakuinya begitu dicintainya. Juga saat ini, meskipun sering kali ia melupakan rasa cinta atau semacamnya jika pertengkaran bodoh ini mulai kembali hidup. Lebih hidup daripada harmonisasi sebuah keluarga.

Ia pun duduk di salah satu sofa ruang tengah dan memijit pelipisnya pelan. Ia lelah. Jika ia terus saja mengikuti egonya, kemungkinan terburuknya adalah, perceraian. Dan ia sudah bersumpah dalam hidupnya, ia tidak akan mengalami kegagalan semacam itu. Tidak akan pernah.

Dan Jongwoon hanya memandangi Sejin yang emosinya mulai stabil. Wanita itu…Jongwoon tidak memungkirinya jika ia memang benar-benar mencintai wanita itu. Wanita yang berhasil membangun hidupnya, membuatnya seolah bisa melihat jati diri sesungguhnya di dalam diri seorang Kim Jongwoon.

Ia tahu, berapa banyak ia menyakiti wanita itu. Wanita yang juga telah melahirkan putranya yang sudah berumur 5 tahun. Dan bohong jika Jongwoon berkata bahwa ia menyesal telah menikahi wanita itu…hanya saja, ada kelabilan emosi yang membuat dirinya sendiri tak terkendali. Dan hasilnya? Teriakan memekakan telinga itu yang menjadi penghias rumah yang di tempatinya saat ini.

“Aku harus istirahat,” ucap Jongwoon sebelum ia berlalu. Dan ini yang selalu di benci siapapun yang mengenal Jongwoon, dia paling anti dengan kata ‘maaf’. Dan selalu mempertahankan keangkuhan dan juga gengsinya. Sejin awalnya tidak pernah keberatan, sampai ia merasa laki-laki itu terlalu keterlaluan. Tidak peka. Itu tuduhan yang selalu di layangkan Sejin.

 

***

 

You are my everything

Nothing your love won’t bring

My life is yours alone

The only love I’ve ever known

 

Your spirit pulls me through

When nothing else will do

 

Every night I pray

On bended knee

 

That you will of always be

My everything

 

 

“Jadi, kau ingin masuk ke universitas ini?” Jongwoon memperhatikan bangunan yang menyambutnya ramah. Kemudian, ia melirik ke arah samping, tepat ke arah gadis yang juga tengah terkagum-kagum pada bangunan di hadapannya.

“Bukan hanya ingin,” Hyun Ae menoleh ke arah Jongwoon, “Tapi aku sudah resmi menjadi mahasiswi disini.” Lanjutnya lagi.

Jongwoon tersenyum hangat ke arah gadis itu, kemudian tangannya dengan gemas mengacak rambut gadis yang selalu di cap manusia es itu. Tapi tidak di hadapannya, dan Jongwoon selalu tahu, hanya dirinyalah yang bisa membuat gadis itu bisa senyaman itu pada oranglain. Hanya dirinya. Dan entah sejak kapan, Jongwoon selalu menikmati semua keterbukaan Hyun Ae padanya.

Hyun Ae memejamkan matanya beberapa saat, menikmati udara segar yang menerpa wajahnya dan menghirupnya dalam-dalam. Dalam hati ia berteriak, ia bisa menjadi seorang anak yang bisa dibanggakan. Meskipun orang yang selalu diharapkannya dapat melihat ini belum juga dapat tersentuh retina matanya, tapi dimanapun orang itu berada, ia selalu berdoa dan yakin, bahwa orang itu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Hyun Ae.

Hati. Tidak perlu mata yang selalu melihat, kan? Hati juga bisa melihatnya, bahkan lebih daripada itu, merasakan. Dan Hyun Ae tidak pernah merasa tidak yakin jika ibunya juga merasakan apa yang dirasakannya.

“Hah…tidak terasa, rasanya baru pertamakali melihatmu saat kau masih berusia 10 tahun. Menangis sendirian di tepi jalan, menangis sesenggukan, menyedihkan..” Jongwoon mencoba bernostalgia dengan pertemuan pertamanya dengan Hyun Ae, adik angkatnya ini.

Dan Hyun Ae bukannya merasa terhibur, justru ada perasaan tersinggung disana. Juga rasa sedih, ia tidak suka meratapi hidupnya yang tidak senormal kehidupan oranglain. Tapi Hyun Ae hanya perlu merasa bersyukur dan tetap menjalani hidup yang telah disuguhkan oleh Tuhan.

Hanya dengan kehadiran Jongwoon, Hyun Ae sudah merasa hidup. Dan akan lebih baik jika seseorang yang menjadi segalanya juga berada disisinya. Meskipun ia selalu merasa bimbang…apakah ia diinginkan?

“Masuklah. Nanti, hubungi aku lagi. aku harus memberikan sesuatu padamu atas keberhasilanmu.” Jongwoon kembali mengusap kepala Hyun Ae.

Hyun Ae tersenyum tipis dan mengangguk, “Kau harus memberikan apapun yang aku inginkan oppa~” katanya sebelum mengecup pipi Jongwoon. Salah satu kebiasaannya yang belum bisa dihilangkannya sejak ia masih menjadi bocah SD. Dan Jongwoon yang selalu keberatan dengan ini, kali ini selalu membiarkan Hyun Ae. Toh, dimatanya Hyun Ae tetap adik kecilnya yang membutuhkan sayapnya untuk berteduh.

Meskipun…jauh didalam lubuk hatinya, Jongwoon merasakan ada letupan rancu. Jongwoon tidak perlu menebak apa itu, ia hanya tidak ingin mengetahuinya terlalu dalam dan berakhir dengan tebakan yang menghancurkan segalanya. Cukup dengan keruhnya kehidupan keluarganya belakangan ini, ia tidak ingin memperkeruhnya dengan mengakui sebuah perasaan yang bisa menceburkannya ke dalam api perpisahan.

Bagaimanapun, Sejin merupakan orang yang selalu ingin dipertahankan dalam hidupnya.

 

***

 

Now all my hopes and all my dreams

 

Are Suddenly reality

you’ve opened up my heart to feel

 

a kind of love that’s truly real

a guiding light that’ll never fade

 

there’s not a thing in life That I would ever trade

for the love you give it won’t let

I hope you’ll always know

 

 

You’re the breath of life in me

 

Hyun Ae mengetuk-ngetuk dagunya dengan tubuh sedikit membungkuk memandangi deretan kue yang menurutnya cantik untuk di berikan pada Jongwoon. Ia tidak bisa memasak, salah satu kelemahannya. Alasan yang membawanya datang ke toko kue ini. Meskipun kue itu tidak akan pernah bisa menggantikan kebaikan Jongwoon selama ini, tapi setidaknya ia ingin membuat Jongwoon tersenyum. Sesederhana itu.

“Aku mau yang ini,” Hyun Ae akhirnya menemukan kue pilihannya. Hyun Ae hendak menegakkan bahunya saat ia melihat kue berwarna terang yang terpajang disisi kue yang dipilihnya barusan. Dan sekarang hatinya terenyuh. Senyum tipis itu mengembang begitu saja di bibir gadis itu.

“Yang ini juga,” putus Hyun Ae lagi. ia selalu ingat apa yang disukai ibunya. Stroberi. Dan Hyun Ae akan membeli kue itu sebagai bentuk perayaan kecil-kecilannya untuk mengenang sang ibu. Ia memang tidak bisa melihat ibunya saat ini, tapi ia tidak akan pernah lupa apapun tentang ibunya. Walaupun, Hyun Ae perlu mengakui jika ia tidak tahu tanggal lahir sang ibu. Oh ayolah, saat itu umurnya masih 7 tahun. Ia tidak akan begitu peduli tentang hal semacam itu. Bahkan saat dititipkan di panti asuhan, Hyun Ae hanya ingat bahwa ibunya berjanji akan datang kembali menjemputnya…meski entah kapan.

“Ini Nona,” Hyun Ae tersentak saat pelayan tersebut sudah menyerahkan kue yang di pilihnya tadi. Kemudian ia menerimanya dengan senyum hangat yang sangat mahal di tunjukkannya. Ia perlu melakukan sesuatu untuk kue stroberi itu.

 

***

 

Sejin mendengus frustasi saat Jongwoon tak juga mengangkat telponnya, dan tidak juga membalas satupun pesan darinya. Ia benar-benar merasa lelah sekarang. Ia terlalu lelah untuk emosi sekalipun. Ia tidak tahu apa yang ada dalam kepala suaminya. Bagaimana bisa pria itu menghilang begitu saja tepat di ulangtahunnya sendiri? Ulangtahun Jongwoon…yang ia harapkan bisa menjadi sebuah obat pereda dari radang rumah tangga mereka.

Dan apa? Inilah Jongwoon. Ini yang selalu membuat Sejin berpikir ingin menyerah.

Sejin pun mendesah panjang sebelum beranjak dari kursi meja makannya, namun langkahnya terhenti saat ia menyadari sesuatu yang hampir dilupakannya…

Dilupakan? Sejin tersenyum kecut. Ia dulu bahkan selalu berharap dan berniat melupakannya, tapi kenapa sepotong coklat itu mengingatkannya pada masalalu? Masalalu…? bahkan, Sejin menyesal sekarang. Menyesal telah mencoba mendepak sesuatu yang paling berharga untuk dirinya, yang kini menghadiahkan kehilangan bagi Sejin.

“Kau…dimana?” lirihnya dengan tetes airmata yang turun tanpa seizinnya.

 

***

 

The only one That sets me free

and you have made my soul complete

for all time (for all time)

 

Hyun Ae bertepuk tangan saat Jongwoon selesai meniup lilin di atas kue-nya. Ia bisa bernapas lega karena Jongwoon menyukai pesta kecil-kecilan yang dibuatnya. Dan entah kenapa, ia merasa terlalu senang sekarang…perasaan senang yang memberi sinyal ganjil. Semacam tidak ingin kehilangan, atau ingin memiliki? Mungkin keduanya, atau ia salah dengan kedua tebakannya.

“Aku masih bingung, kenapa kau membagikan kue tadi?” tanya Jongwoon sambil memotong kue dihadapannya.

Hyun Ae kembali terfokus pada Jongwoon, menepis lamunan ringannya dan tersenyum ke arah Jongwoon.

“Aku merindukan ibuku…” jawabnya dengan jujur. Ia benar-benar merindukan ibunya, dan ia tidak bisa melakukan apapun selain berdoa, melakukan keinginan ibunya, dan melakukan hal-hal kecil semacam tadi.

Jongwoon cukup tersentuh dengan ucapan Hyun Ae. Bagaimanapun, ia tahu bagaimana usaha gadis itu untuk tetap berusaha bersikap tegar di balik sifat dinginnya. Menjadikannya tameng untuk menunjukkan pada semua orang bahwa ia selalu baik-baik saja. Jongwoon tidak ingin menuduh gadis itu membohongi dirinya sendiri, meskipun kenyataannya memang begitu. Gadis itu punya rahasia sendiri dan caranya sendiri. Dan Jongwoon tidak ingin mengganggu gugat itu.

“Oppa, kapan kau akan menikah?”

Jongwoon langsung terbatuk saat mendapat pertanyaan ringan itu. Sederhana memang, tapi tidak bagi Jongwoonyang selama ini menyembunyikan –bahkan menutup kehidupan pribadinya- dari Hyun Ae. Entah atas dasar alasan apa, Jongwoon hanya tidak ingin mengatakannya.

“Ah, maaf. Mungkin pertanyaanku mengganggu.” Ucap Hyun Ae menyesal sambil menyodorkan segelas air putih ke arah Jongwoon. Dan Jongwoon menerimanya.

“Hanya saja…” Hyun Ae kembali berbicara saat Jongwoon meletakkan gelasnya di atas meja, “Aku selalu takut oppa meninggalkanku dan melupakanku jika oppa menikah nanti. Oppa seperti keluargaku…seseorang yang membuat hidupku lengkap.”

Jongwoon menelan ludahnya pahit. Baiklah, mungkin sebentar lagi ia akan mengatakan kejujuran yang akan mengecewakan Hyun Ae. Dan entah mengapa kekecewaannya lebih dulu mendatagi hatinya.

“Oppa…kau janji tidak akan melupakanku jika menikah nanti, kan?”

Jongwoon menarik kedua sudut bibirnya. Ada rasa berat yang menggantung di hatinya. Bahkan, tanpa diminta Jongwoon tidak pernah melupakan gadis itu.

“Tentu…”

Hyun Ae tersenyum puas mendengar jawaban Jongwoon. Meskipun didasar hatinya, ia berharap Jongwoon hanya akan tetap menjadi miliknya. Itu akan jauh lebih baik, karena Hyun Ae tidak perlu mencari oranglain yang perlu dipercayainya lagi.

 

***

 

You are my everything (you are my everything)

 

Nothing your love will not bring (nothing your love will not bring)

My life is yours alone (alone)

The only love I’ve ever known Your spirit pulls me through (your spirit pulls me through)

When nothing else will do (when nothing else will do) Every night I pray (I pray)

On bended knee (on my knee)

That you always will from everything my bebe

 

 

Hyun Ae berjalan riang menuju rumahnya. Ia sebenarnya agak kecewa saat tahu Jongwoon tidak bisa mengantarnya pulang, tapi tidak masalah. Jongwoon pasti cukup sibuk dengan semua tugas perusahaan yang mengejar-ngejarnya.

Dan setelah berada di depan rumahnya, Hyun Ae menengadahkan kepalanya ke arah langit yang menggelap. Dia tersenyum hangat ke arah kangit itu, seolah melihat seseorang yang selalu dirindukannya. Yang namanya selalu terucap dalam rentetan doanya.

“Mom, jika kau mengenal Jongwoon, kukira kau pasti akan langsung senang jika membiarkannya untuk menjagaku.”

Bodoh. Gila. Aneh. Hyun Ae tidak peduli. Ia hanya tahu inilah hidupnya, inilah yang selalu di laluinya. Karena di balik kesendiriannya, Hyun Ae memiliki Jongwoon. Dan Hyun Ae yakin, suatu saat ia akan merasakan keutuhan hangatnya hidup. Ibunya dan Jongwoon, entah sejak kapan mereka menjadi prioritas dalam hidup Hyun Ae.

“Eomma…” Hyun Ae terkejut saat ia mendengar suara anak kecil yang sedang menangis. Mata Hyun Ae refleks menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari suara anak kecil itu. Dan ia menemukannya, tidak jauh dari dekat rumahnya. Anak laki-laki yang sedang menangis sendirian di tepi jalan.

Hyun Ae menggigit bibir bawahnya. Ia tidak suka anak kecil. Tapi anak kecil ini mengingatkannya pada dirinya sendiri di masalalu, yang akhirnya membuat kaki Hyun Ae maju mendekati anak kecil laki-laki itu.

 

***

 

“Ini rumahmu?” tanya Hyun Ae memastikan saat anak kecil itu menunjuk sebuah rumah yang cukup besar itu.

Kim Young In –nama anak laki-laki itu- mengangguk mengiyakan. Hyun Ae tersenyum tipis dan mempererat genggaman tangannya pada anak itu. Kejadian ini selalu mengingatkannya saat ia kabur dari panti asuhan dulu dan akhirnya mempertemukan dirinya dengan Jongwoon yang saat itu sudah menjadi seorang mahasiswa. Bedanya, Hyun Ae sebatang kara di tengah hiruk pikuk Seoul, dan Young In justru masih bisa menghapal alamat rumahnya.

Setelah berada di depan pintu rumah itu, Hyun Ae pun menekan bel rumah itu 2 kali. Kemudian ia menarik napasnya panjang-panjang, mempersiapkan dirinya sendiri untuk menghadapi ibu dari anak ini. Ia harus bersikap ramah sekarang, dan ia sangat tahu itu bukan dirinya.

Hyun Ae menegakkan bahunya saat mendengar suara kunci pintu yang dibuka, dan saat pintu terbuka…

“Eomma!” Young In memekik senang dan langsung memeluk wanita yang bisa di tebak berkepala 3 itu. Mengabaikan hyun Ae yang terpaku di tempatnya sendiri. Ia terlalu terkejut sekarang. Sekujur tubuhnya menegang. Ia sempat senang, namun ada beberapa gerogotan hitam dalam hatinya. Ia mengenali wanita itu…

“Eomma…” lirih Hyun Ae dengan nada bergetar. Pelan. Sangat pelan. Tapi wanita yang di panggil ‘eomma’ oleh Hyun Ae hanya mendongak menatap gadis itu bingung. Ia sempat berpikir gadis itu mungkin terharu atau semacamnya.

Tapi entah kenapa, hati wanita itu bergetar saat menatap mata itu. Mata gadis itu yang mengingatkannya pada seseorang yang pernah merusak hidupnya dimasalalu. Yang mencampakkannya dan justru membuahkan kesan pahit dalam masa mudanya. Cerita lama. Cerita sumbang yang sudah sangat lusuh. Dan mata itu membuatnya kembali mengingat rentetan waktu yang dengan susah payah di hapusnya. Hingga ia sadar…

“K-kau…” dan kali ini, Sejin tak kalah terkejutnya dengan Hyun Ae. Ia nyaris seperti bermimpi. Ada sebagian dalam dirinya yang menolak kenyataan ini, tapi sebagian dalam dirinya lagi memiliki rindu yang sangat besar.

“Eomma…” ucap Hyun Ae lagi. entah pada siapa, entah pada dirinya atau justru ia memanggil wanita itu. Tatapannya menerawang entah kemana, dan pikirannya ikut-ikutan melayang.

Tes…

Airmata itu jatuh saat Hyun Ae merasakan sentuhan tangan itu lagi. ketika hidungnya dapat mencium kembali aroma tubuh yang selalu dirindukannya. Sosok wanita yang selalu disebutnya dalam setiap doanya. Seseorang yang menjadi penyemangat hidupnya, alasan untuknya bisa bertahan dalam hidup ini. Di dalam dunia yang bahkan nyaris berpaling darinya dan tak pernah menyambutnya.

“Hyun Ae-ya…” suara bergetar itu langsung memecahkan tangis keduanya. Dan Hyun Ae sekarang kehilangan tameng ketegarannya. Pecah. Semuanya hancur berkeping-keping, tak satupun tersisa. Terbukti dengan airmatanya yang benar-benar sudah menganak sungai.

Tapi, tangan Hyun Ae justru dengan cepat melepas pelukan wanita itu. Meskipun itu menyakitinya, tapi ada dorongan kuat yang membuatnya memiliki tenaga untuk melakukan itu semua.

“Ke…kenapa…” Hyun Ae menarik napas dalam dan mencoba membuang rasa skait dan menahan airmatanya yang siap berhamburan jatuh lagi, “Ke…kenapa tidak pernah mencariku? Dan…apa ini? Eomma memiliki… seorang anak?” cecarnya dengan terbata. Jika dalam keadaan normal, mungkin Hyun Ae akan berteriak-teriak seperti orang kesetanan.

“Aku bisa jelaskan,” Sejin bersuara, ia sekarang tahu betapa ia membutuhkan gadis kecilnya yang sekarang sudah beranjak dewasa ini. Berapa banyak hal yang ia lewatkan? Rentetan penyesalan itu begitu menjadi sekarang.

Dan Hyun Ae menggeleng, otak bodohnya sekarang mulai berkelakar tentang kekecewan. Rumah besar, seorang anak –yang baru saja memasuki rumahnya, dan…apakah ini tidak cukup membuktikan bahwa ibunya bisa hidup bahagia sedangkan dirinya begitu sengsara tanpa dirinya?

“Eomma…kenapa tidak pernah mencariku?” tanya Hyun Ae lagi. sarat dengan luka. Ia menantikan pertemuan ini, tapi ada sekat yang entah mengapa membuatnya ingin menjaga jarak. Bodoh. Tolol. Gila. Aneh. Dan semua rutukan itu pantas untuk Hyun Ae. Kelabilan itu mulai meracuni otaknya lagi.

Sejin menarik napas panjang. Ini saatnya ia menebus semua kesalahannya, semuanya. Dimasalalu dan sekarang. Kesalahan yang ia limpahkan pada putrinya dengan begitu bodoh. Ya, sejin memang bodoh.

“Aku…”

“Sejin, anak kita sudah kembali?” ucapan Sejin terpotong oleh sebuah suara yang berbicara padanya.

Disini, keduanya sama-sama terkejut. Hanya saja yang paling tidak bisa mempercayai kejadian ini adalah Hyun Ae. ada rasa senang disana, juga pahit. Firasatnya berkata, ada yang tidak beres disini. Suara itu…

“Yeobo…”

Dada Hyun Ae tersentak hebat. Ia memutar tubuhnya dengan ragu. berharap semua tebakan otaknya salah. Ya. ia sangat berharap soal itu. Dan sayangnya, harapan itu tak terkabul, karena kenyataannya seseorang yang menyebut kalimat ‘anak kita’ itu adalah Kim Jongwoon. Dan secara tidak langsung, itu mengatakan bahwa Jongwoon adalah…Hyun Ae menggeleng. Kepalanya sakit sekarang. Ia yang seharusnya senang disini, justru merasa mentalnya benar-benar terjatuh. Hatinya terluka tanpa bahasa yang bisa menjelaskannya.

Dan sekarang, dada Jongwoon yang bergemuruh hebat. Ia tidak percaya jika Hyun Ae ada dihadapannya sekarang, bahkan ada di jarak yang begitu dekat dengan istrinya, Sejin. Dan tatapan mata itu membuatnya benar-benar terhenyak.

“Oppa?” panggil gadis itu dengan ragu. ia dikecewakan sekarang. Benar-benar kecewa yang…entahlah. dunia seperti baru saja mengkhianatinya. Jongwoon sudah berkeluarga? Bahkan menikah dengan ibunya. Dan ibunya bahagia dengan keluarga kecilnya, yang padahal bisa saja mencari Hyun Ae. Hyun Ae tidak bodoh soal itu. Tuduhan mengerikan. Tapi Hyun Ae tidak mencoba menyangkalnya sama sekali. Ia berharap, ibunya sama sibuknya seperti dirinya, mencarinya. Tapi tebakannya lebih mengarah pada, ibunya tidak melakukan apapun untuk menemukannya.

Sejin yang merasakan ada yang tidak beres antara Hyun Ae dan Jongwoon hanya mencoba untuk tetap diam, hingga akhirnya ia menarik lengan putrinya dan memperkenalkan pada Jongwoon yang entah kenapa masih mematung di tempatnya.

“Hyun Ae…kau mengenalnya? Dia…putriku…”

Jantung Jongwoon mencelos. Bukan. Bukan soal dirinya yang kepergok karena telah memiliki keluarga dan membohongi Hyun Ae. Tapi letupan-letupan didadanya justru meledak dan berbalik menyakitinya sekarang. Tidak mungkin…

“Hyun Ae…”

Hyun Ae tidak mendengar apapun lagi sekarang. Ia lebih memilih menarik tangannya dan meninggalkan tempat itu. Entah atas alasan apa, padahal ia ingin memeluk ibunya, dan menjadi gadis kecil manja yang tidur di pangkuan ibunya. Tapi tidak. Kesakitannya membuat kakinya justru melarikan diri dari tempat itu. Entah kemana, ia juga mendadak tidak sudi menginjak rumah kecil yang dibelikan Jongwoon untuknya.

 

***

 

Jongwoon kini tengah menyetir mobilnya menuju rumah Hyun Ae, bersama Sejin. Jongwoon sudah mengenal baik karakter gadis itu, dan Jongwoon tahu mental gadis itu cukup terguncang. Bukan hanya cukup, tapi mungkin benar-benar terguncang.

“Bagaimana kau bisa mengenal Hyun Ae?” suara lemah dan datar itu memecah keheningan dan kepanikan mereka.

Napas Jongwoon menderu berat. Ia tidak ingin membahasnya. Tapi bagaimanapun ia parti akan mendapat pertanyaan itu, dan mau tidak mau menjawabnya juga.

“Jongwoon…” Sejin bersuara lagi, dengan tatapan kosong ke depan. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang.

“Dia…gadis kecil yang kuselamatkan 9 tahun lalu. Aku menemukannya sendirian di tepi jalan,” jawab Jongwoon jujur dengan nada yang sangat enggan.

Sejin menghela napas panjang sembari memejamkan matanya, menahan rasa skait yang terus mencambukinya tanpa ampun. “Hanya sebatas itu? Kenapa kau tidak mengatakannya padaku? Bahwa kau memiliki seorang anak angkat…”

Anak angkat? Jongwoon tertawa pahit dalam hatinya. Ia tidak menganggap Hyun Ae seperti itu. Tapi lebih. Dan sekarang Jongwoon sudah mengakui apa yang dimaksud kata lebih disana.

“Entahlah…” balas Jongwoon akhirnya. Ia tidak tahu apalagi yang akan dijelaskan pada Sejin. Mengatakan bahwa Jongwoon menyukai gadis itu? Ini gila. Jongwoon akan benar-benar gila sekarang.

“Kau tidak bisa membohongiku. Juga mata gadis itu…katakan ada apa lagi…” tuntut Sejin dengan nada datar. Sedatar tatapannya. Ia tidak bisa membayangkan rasa sakit yang mengoyak hati Hyun Ae. Hati putri kecilnya yang seharusnya ia jaga, bukan disakitinya seperti ini.

“Aku…menyukainya…”

Sejin menutup matanya. Mencoba untuk menahan airmata itu agar tidak turun. Yang sayangnya, sama sekali gagal. Ia tidak berhasil. Ia sudah menduganya. Dan yang terburuk, jika dugaannya benar soal isi hati Hyun Ae.

Dan entah bagaimana, saat Sejin membuka matanya, ada sebuah truk yang berjalan diarah jalan yang dilalui oleh mobil Jongwoon. Ia sempat memekik saat Jongwoon membelokkan mobilnya ke arah lain yang justru membuat mobil yang mereja tumpangi terbalik beberapakali. Hingga keduanya hanya merasakan kehampaan dalam gelap.

 

***

 

“Mereka kecelakaan, dan…wanita bernama Park Sejin dalam keadaan kritis, dia membutuhkan donor mata.” Hyun Ae memejamkan matanya, menahan gejolak nyeri yang menggerayanginya. Dan Jong In yang tiba-tiba ditemuinya kembali malam itu, sekarang jsutru berbalik menjadi pendengar terbaiknya, “Dan Kim Jongwoon hanya mengalami patah tulang.”

Hyun Ae masih memejamkan matanya, kedua tangannya terkepal erat di kedua sisi pahanya. Ia tidak tahu harus bagaimana untuk mempertahankan dirinya lagi untuk tetap kuat. Semuanya. Semuanya yang Jong In katakan mengenai keluarga baru ibunya itu sudah cukup menjawab semuanya. Dan semua hampir benar…

“Sabar. Kau harus tetap sabar dan kuat.” Hibur Jong In, meskipun ia sendiri tidak yakin, tapi ia harus bisa membuat gadis yang mendadak ringkih ini harus tetap berdiri.

“Kau…bisa mengantarkanku ke rumah sakit itu? Aku…ingin melihat ibuku…”

 

***

 

Hyun Ae tidak tahan untuk tidak menghambur lari ke arah ibunya yang kini tengah memejamkan matanya di atas ranjang. Ia bisa saja menangis meraung-raung sekarang, tapi Jong In yang terus menyemangatinya, entah kenapa bisa membuatnya tetap berdiri tegak seperti sekarang. Dan yang lebih parah, Hyun Ae hanya bisa melihatnya dari kaca tembus pandang yang berada di pintu ruang inap ibunya.

“Kau akan benar-benar melakukannya?” Jong In menyuarakan isi hatinya. Ada rasa takut dan sakit yang sama besarnya. Gadis itu baru saja membulatkan tekadnya.

“Sudah kukatakan…” suara datar ittu akhirnya di temukan Jong In, “Dia alasan kenapa aku hidup di dunia ini. Aku saja yang bodoh…” lanjutnya masih menatap ke dalam ruangan.

“Hyun Ae-ya…”

“Apapun…demi dirinya. Aku akan melakukan apapun…karena dia adalah segalanya untukku.”

 

***

 

Jong In menunggu dengan tidak sabar di depan pintu ruang operasi. Ia sekarang sperti bagian dari Hyun Ae. Keluarga mungkin? Tapi Jong In tidak mengharapkan semacam ‘keluarga’, tapi benar-benar keluarga. Yah…rumit bukan? Tapi itulah yang ia pikirkan saat ini. Meskipun ia lebih marah memikirkan Hyun Ae yang sedang melakukan operasi donor mata untuk ibunya. Seseorang yang menjadi segalanya bagi dirinya.

Siapa yang tidak akan mengagumi sosok Lee Hyun Ae?

“Kau Kim Jong In?”

Jong In mendpngak menatap seornag pria yang tiba-tiba berdiri di depannya dengan tatapan kacau. Tangannya di bebat tebal, mungkin gips. Pria itu mengalami patah tulang di lengannya. Jong In ingat keterangan itu.

Jong In berdiri dan membungkukan badannya.

“Hyun Ae…benarkah?”

Belum sempat Jong In menjawab, tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka. Membawa seorang dokter yang memakai baju berwarna hijau itu keluar. Dan Jong In benci menatap pakaian itu sejak ia mengantar Hyun Ae tadi.

“Bagaimana?” Jongwoon sekarang 1000x lebih panik. 2 orang terpenting dalam hidupnya sekarang sedang ada ambang garis terburuk. Tidak. Semuanya baik-baik saja…meskipun Hyun Ae akan mengalami buta nantinya.

Dokter itu menghela napas panjang, “Ny.Park selamat. Ia hanya perlu beristirahat dan menunggu wkatu beberapa hari sebelum ia bisa menggunakan matanya. Dan untuk Nona Lee…”

Jongwoon sempat menahan napasnya beberapa saat. Tuhan…tolong jaangan katakan…

“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkannya. Kami sudah mencoba sebisa kami. Jantungnya tiba-tiba melemah.” Jongwoon langsung jatuh terduduk. Tidka tahu. Ia tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini. Gadis itu…Lee Hyun Ae pergi?

Dan Jong In yang juga mendnegar percakapan itu hanya bisa mengusap wajahnya. Dadanya begitu terhenyak sekarang.

 

***

 

Hyun Ae tersenyum tipis ke arah ibunya dan juga Jongwoon yang kini tengah menatap dirinya. Ia sedih. Tentu saja. Tapi kesedihan itu mulai menguap dan bergantikan dengan senyuman. Meskipun perih, tapi Hyun Ae tetap bisa menahannya. Demi semua orang yang dicintainya.

“Kau tahu Eomma, salah satu kebahagiaanku adalah…ketika aku bisa melihatmu bahagia. Setelah ini, kuharap kau akan terus bahagia..” ucapnya tanpa di dengar sang ibu yang masih menangis.

Matanya beralih ke arah Jongwoon, “Oppa…jaga ibuku. Kau tahu, bagaimana aku begitu menyayanginya. Dan terimakasih untuk segalanya…aku mencintaimu…” ia masih tak di dengar.

“Dan kau Jong In…” ia pun mendekati Jong In yang berdiri di depan pintu menuju ruangannya, “Terimakasih. Maaf, selama ini aku tidak pernah bisa bersikap baik padamu. Dan justru membuatmu kerepotan karenaku…”

Hyun Ae menoleh kembali kebelakang. Ia kembali tersenyum tipis, dan ini mungkin puncak dari segalanya. Setelah menatap punggung kedua orang itu tanpa bisa menghapus airmata mereka, Hyun Ae pun melangkah pergi, menjauhi tempat itu. Tanpa akan menoleh kembali.

 

Every night I pray

 

down on bended knee

that you will always be

 

my everything

oh my everything

 

 

 

 

=FIN=

10/02/14 10:32PM

Satu respons untuk “I Miss You, Mom!

  1. Ping-balik: Xue Han’s Library | Xue Han's Pen World

Tinggalkan komentar