To You (16)

-part 16-

 

“Kenapa kau harus datang lagi? Kau tidak puas menyakitiku? Kau ingin melihatku semakin menderita? Kau…”

“Ssshh…” desis Myungsoo tanpa melepaskan pelukannya, “Aku tahu. Aku sudah menyakitimu terlalu banyak. Aku tahu, kata maaf pun bahkan tidak akan bisa menebus semua kesalahanku. Aku tahu aku salah. Sangat salah…” ucap Myungsoo pelan. Sangat pelan. Tapi ia tahu Naeun dapat mendengarkan suaranya barusan.

“Aku merindukanmu Oppa…kenapa kau meninggalkanku dengan cara seperti ini? Apakah aku tidak layak untuk diperjuangkan sehingga oppa…”

“Kau sangat berharga. Kau bahkan harus diperjuangkan. Dan kau harus tahu jawabannya, bukan aku laki-laki yang tepat untuk menggenggam tangan seseorang yang berharga sepertimu. Bukan aku yang pengecut yang pantas untuk memperjuangkanmu…”

“Aku hanya mencintaimu Oppa. Kenapa aku harus mencari orang lain lagi?”

Myungsoo semakin mempererat pelukannya. Menyalurkan seluruh kata rindu yang mencekiknya selama ini. Rasa rindu yang hinggap secara diam-diam, dan secara diam-diam pula Myungsoo menyembunyikannya. Atau mungkin Myungsoo tidak tahu jika ia menyembunyikan rasa rindu itu pada Naeun.

“Aku tidak mau kehilanganmu lagi Oppa…tidak…”

“Naeun…”

“Aku mencintaimu dan aku percaya kau juga mencintaiku. Apakah tidak bisa kau tidak mengalah, oppa? Apakah bisa bukan aku yang kau korbankan?”

Reflex Myungsoo pun memejamkan matanya. Rasa sakit itu tiba-tiba saja menghimpit dadanya. Ya Naeun benar. Harusnya dulu ia bisa sedikit mempertahankan hubungannya, harusnya dulu ia mencoba memperjuangkan seseorang yang ia cintai. Dan harusnya ia tidak pernah mengorbankan Naeun yang selama ini ada untuknya.

Ia benar-benar pengkhianat yang tidak bisa dimaafkan…

Dan yang membuat tubuhnya berubah dingin seketika adalah, fakta mengenai seharusnya ia tidak disini dan mengikuti naluri perasaannya pada Naeun dan terfokus pada tujuannya. Melepaskan Naeun dan memulai langkah baru dengan…Suzy.

Tapi bukannya merealisasikan tembakan pikirannya, Myungsoo justru melepas pelukannya dan langsung menarik tengkuk Naeun dan mengklaim bibirnya dengan bibir Myungsoo.

 

***

 

“Kau benar-benar tidak tertarik pada Jiyeon? Dia terlihat malu-malu saat aku membahasmu,” ujar Jongin dengan senyum menyebalkan –menurut Chanyeol. Chanyeol pun mengangkat gelas minumannya dan meneguknya habis dalam sekali teguk.

“Kau bercanda? Bahkan aku hampir lupa wajahnya…” tukas Chanyeol agak gusar. Ia benar-benar terganggu dengan tema pembicaran yang dikemukakan oleh Jong In. soal Park Jiyeon –teman dari Suzy mantan kekasih Jongin. Entah apa yang membuat laki-lakiitu senang sekali menjodoh-jodohkannya dengan apoteker yang terlihat membosankan itu. Bahkan Chanyeol sendiri tidak ingat bagaimana asal mula pertemuannya dengan Jiyeon Jiyeon itu.

Jongin kembali menyeringai. Ia sebenarnya ingin menggoda Chanyeol sekal lagi, tapi semuanya urung saat seseorang menghampirinya dan berkata ada seseorang yang mencarinya. Jongin agak ragu sejenak. Entah mengapa belakangan banyak sekali orang yang sibuk lalu lalang untuk mencarinya. Apakah ia sepenting itu sekarang?

“Siapa?” Tanya Jongin malas sambil menuangkan kembali minumannya.

“Saya kurang tahu.”

Jongin mendengus malas dan akhirnya memutuskan untuk pergi keluar setelah meneguk minumannya. Pelayan itu memberikan jawaban yang tidak memuaskan.

 

***

 

Haruskah Jongin terkejut? Atau justru ia bersikap biasa saja saat sosok Kwon Ji Young berdiri dihadapannya. Seorang pria yang beberapa tahun lebih tua darinya itu kini tengah berdiri dengan tatapan angkuh dan seringaian yang memuakkan.

Jongin sendiri tidak tahu kenapa pria tengik itu mau repot-repot mencarinya. Apalagi jika ia sudah mengingat pertemuan terakhirnya dengan pria yang hampir merusak masa depan ‘mantan kekasihnya’ itu. Membuatnya babak belur dan…ya,ia berakhir di kantor polisi. Berkat bantuan koneksi Suzy, akhirnya dirinya bisa dikeluarkan dengan cepat.

Tapi itu sudah cukup lama. Jika tidak salah ingat, kejadian itu berlangsung ketika awal pertemanannya dengan Suzy saat kuliah. Dan rasanya sangat aneh ketika pria itu muncul di hadapannya lagi untuk balas dendam –seandainya apa yang ia pikirkan ini benar.

“Bocah tengik…kita bertemu lagi.”

Jongin mendengus pelan dan setengah mengejek Jiyoung melalui tatapannya. Siapa yang ia sebutbocah tengik? Sepertinya pria brengsek itu lupa tahun berapa sekarang. Ia bukan lagi mahasiswa 19 tahun!

“Ya. Kita bertemu lagi. Ada apa kau repot-repot mencariku?” Tanya Jongin sesantai mungkin dengan nada malas dibuat-buat. Walaupun sebenarnya ia memang benar-benar malas bertemu lagi dengan pria itu.

“Tidak ada…” desis Ji Young sambil mendekat ke arah Jongin, pria itu menunduk menatap sesuatu di tanah tanpa ada focus yang pasti, ia pun memasukkan tangannya ke dala saku dan mendongak menatap Jongin yang hanyabejarak beberapa senti di depannya, “Tapi aku memiliki tugas yang menarik…” ucap pria itu dengan kedua sudut bibirnya yang tertarik.

Dan tanpa Jongin duga, ia merasakan sesuatu yang dingin menusuk perutnya yang kemudian disusul rasa sakit yang tidak tertahankan.

“Aku sebenarnya tidak tertarik menjadi seorang bayaran. Atpi aku tertarik karena bisa sedikit membalaskan dendamku padamu…Kim Jong In.”

“Brengsek…” desis Jongin sambil berusaha menahan sakit yang semakin menggila ditubuhnya.

“JONGIN!!!”

Jiyoung tersenyum kecut saat mendapati seorang pria tinggi memanggil nama Jongin. Mungkin itu temannya. Kemudian, Jiyoung langsung menarik pisaunya dan menjatuhkannya ke tanah. Dan sebelum ia pergi, ia sempat melemparkan senyum kemenangan ke arah Jongin yang mulai ambruk.

“Dasar pecundang,” desis Jiyoung dan langsung bergegas pergi.

Dan sebelum Chanyeol berhasil sampai padanya, terlintas satu nama yang pasti membayar pria brengsek itu. Putra sulung keluarga Sonh…

 

***

 

Suzy berjalan agak linglung menuju kamar di apartemennya. Ia baru saja sampai beberapa menit lalu di apartemennya dengan diantar Soohyun. Entahlah. Ia merasa otaknya bekerja agak lamban sejak bangun tadi pagi di sebuah kamar hotel…

Oh yeah. Ia benar-benar menginap di sebuah hotel setelah mengikuti ajakan makan malam dari Soohyun. Dan yang sedikit mengganggu pikirannya adalah ia yang sama sekali tidak ingat bagaimana bisa makan malam itu selesai dan tiba-tiba ia terbangun di sebuah hotel.

Suzy menggeleng pelan. Menghalau pikiran buruk yang tiba-tiba berkelebat dalam otaknya beberapa saat lalu. Tidak ada yang salah. Soohyun juga tidak ada di kamar Suzy meskipun…ia merasa seperti habis mabuk dan lupa tidak meminum aspirin setelah bangun.

Tapi Suzy tidak mabuk! Demi Tuhan bahkan Soohyun pun tak memesan alkohol semalam. Dan anehnya, saat Suzy bertanya pada Soohyun ia malah berkata tidak ada yang terjadi. Dan dengan keadaan sadar Suzy juga ikut ke hotel yang juga satu tempat dengan restoran tempat mereka makan.

Dan sayangnya, Suzy terlalu pusing untuk bertanya atau memberi argumen tidak setuju mengenai Suzy yang baik-baik saja. Apanya yang baik-baik saja jika Suzy tidak ingat sama sekali pada kejadian semalam?

Dan sesampainya di kamar, Suzy hanya bisa mendengus pelan karena tak mendapati seseorang yang setengah…ia harapkan? Suzy hampir lupa jika Myungsoo tidak ada di London. Dan yang menyebalkan, pria itu sepertinya tidak tertarik untuk memberinya kabar apakah ia sudah sampai di Korea atau belum. Dan seharusnya Myungsoo sudah sampai, kan?

Suzy mendesis pelan sambil menaruh barang-barangnya. Tiba-tiba ia merasa kesal mengingat satu fakta bahwa Myungsoo tengah menemui Naeun. Yeah. Manis sekali. Bertemu dengan seseorang yang dicintainya dan melupakan seseorang yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Harusnya Suzy ikut saja kemarin, dan sekalian ia reunid engan Jiyeon atau Jongin. Ia benar-benar merindukan teman-temannya.

Suzy baru saja akan membuka pintu kamar mandi ketika telepon rumahnya tiba-tiba berdering nyaring. Sangat sangat nyaring dan sekali lagi kepalanya terasa sakit mendengar suara itu. Jika ia setengah tidak sadar, mungkin ia akan melempar telpon itu ke luar jendela.

Tapi itu tidak terjadi. Suzy tetap berjala ke arah telepon itu dan mengangkatnya.

“Hallo?” sapa Suzy dengan suara yang amat sangat serak. Ugh. Buruk sekali suaranya.

“Suzy Annyeong?”

Dan mata Suzy yang tadi setengah terpejam tiba-tiba membulat lebar. Tunggu. Bukankah itu…

“Dongho?”

“Hmm. Apa kabar?”

 

***

 

Mata Suzy tak henti-hentinya memandangi setiap gerak-gerik yang Dongho lakukan. Saat ini mereka tengah duduk sanai di sudut sebuah kafe yang tak jauh dari tempat Dongho menginap. Oh yeah. Itu benar-benar Dongho. Dan jika ia melupakan soal rasa gengsi, mungkin ia sudah memeluk laki-laki itu sambil memekik kegirangan dan mengumbar kalimat “bogoshippo”.

Tapi itu tidak terjadi. Suzy justu terdampar pada rasa senang yang dilingkupi diam. Begitupun dengan Dongho. Meskipun laki-laki itu terlihat lebih ceria dan sedikit banyak bicara. Tidak sedingin dulu ketika mereka masih berada di satu rumah. Sepertinya ada banyak hal yang telah Suzy lewatkan.

“Kenapa melihatku terus? Apa aku sangat tampan?”

Oh. Suzy ketauan. Dan…apa katanya barusan? Suzy mengernyit dan mendengus pelan. Sejak kapan Dongho jadi senarsis itu?

Tidak mendapat jawaban dari Suzy, Dongho justru tersenyum dan kembali memasukan makanan yang dipesannya tadi.

“Kau berubah banyak. Sejak kapan kau jadi sehangat ini? Belum lagi kau menjadi agak narsis. Menggelikan.” Komentar Suzy setelah menyeruput Cappuchino-nya.

Dongho lagi-lagi tersenyum. Sepertinya Suzy benar, ada sesuatu yang dilewatkannya mengenai Dongho. Dia terlihat kelewat di luar dirinya. Bukan Shin Dongho yang dikenalnya.

“Kau juga. Kau terlihat lebih cerah dan segar. Myungsoo memberimu apa sampai kau bisa lepas dari alkohol-alkohol itu?” tanya Dongho semangat. Tapi pertanyaannya sedikit membuat mood Suzy turun. Ia tidak begitu suka Dongho membahas soal Myungsoo.

“Dia menyebalkan.”

Dongho menaikan sebelah alisnya, “Lalu?”

Suzy pun mengangkat bahunya dan melipat tangannya di atas meja, “Kau tahu dia sangat sangat cerewet. Dia membatasiku tentang ini itu dan membohongiku soal bulan madu dan malah menculikku ke sini. Dan yang lebih parah, dia meninggalkan semua benda-benda terpentingku. Aku tidak boleh belanja ini dan itu. Dia melarangku membeli apapun yang aku mau. Dan juga..”

“Tapi kau terlihat baik-baik saja dengan semua itu.” Potong Dongho santai yang langsung membungkam mulut Suzy.

Satu detik…

Dua detik…

Tiga detik…

“Ne?!”

Dongho mengangguk semangat, “Kau terlihat sangat sehat dan sangat baik-baik saja. Kau tidak terlihat semenderita yang kau ceritakan.”

Benar. Dongho benar. Ia sekarang bisa menikmati semua batasan yang diberikan oleh Myungsoo. Bahkan ia tidak tahu bahwa wajahnya menunjukkan betapa ia memang sangat baik-baik saja –terlepas dari kenyataan soal Myungsoo dan mantan pacarnya. Mungkin ia sudah terbiasa dengan semuanya? Sehingga ia secara refleks tak mau repot-repot memikirkan sesuatu yang tak perlu dipikirkannya.

“Kau juga tidak mengelaknya,” sambung Dongho lagi, “Sepertinya Myungsoo dan London mengubahmu sangat banyak. Sayangnya aku kemari hanya terikat perjalanan bisnis.”

Suzy tersenyum masam mendengar ucapan Dongho. Ia dulu benar-benar berpikir akan cepat tua dan mati karena sangat jengkel dengan keberadaan Myungsoo dan juga berada satu tempat dengan Soohyun. Tapi nyatanya? Ia bahkan melakukannya dengan Myungsoo. Dan ia juga mau diajak pergi bersama dengan Soohyun. Semua diluar dugaannya.

“Tapi Soohyun juga disini….”

“Aku tahu. Dan aku yakin kau bisa menghadapinya, kan? Terlebih Soohyun dan Myungsoo terbilang dekat.”

“Kau…kau tahu?”

“Tentu saja.”

 

***

 

“Jiyeon-ssi, kau tidak akan makan siang?” sapa Lee Hyun Woo dari balik daun pintu.

Jiyeon menoleh sebentar kemudian melemparkan senyumnya pada rekan kerjanya itu, “Satu obat lagi. Kau duluan saja, nanti aku akan menyusul.”

Hyunwoo pun mengangguk dan menutup pintunya. Kemudian Jiyeon cepat-cepat memasukan obatnya ke dalam sebuah plastik. Setelah itu, ia meletakkannya bersama dengan kertas resep yang tadi diterimanya. Harusnya bukan dia yang memberikan pelayanan mengantar obat, tapi karea yang lain sudah pergi maka mau tak mau ia yang harus melakukannya.

“505 atas nama pasien…Kim Jong In?” suara Jiyeon melemah dengan mata sedikit membulat. Apa ia tidak salah baca? Kim Jong In?

“Ini saya,”

Jiyeon langsung mendongak menatap laki-laki tinggi yang berdiri dihadapannya. Dan sepertinya ia tidak salah orang. Karena yang mengambil obatnya adalah Park Chanyeol.

“Chanyeol-ssi?”

 

***

 

Jiyeon merasa sangsi ketika menyadari kakinya justru menuntunnya pergi menuju sebuah kamar yang Chanyeol sebutkan tadi ketika mereka bertemud i apotek rumah sakit. Jongin benar-benar dirawat di rumah sakit ini. Rasanya benar-benar aneh. Melihat bagaimana sosok Kim Jongin, hampir tidak mungkin laki-laki itu jatuh sakit.

Jiyeon menggigit bibir bawahnya sambil memandang ragu ke arah pintu dengan papan nama yang bertuliskan “Kim Jong In”. Lucu sekali. Seorang Kim Jongin yang setiap malam menghabiskan waktunya di club malam dengan alkohol dan musik yang memekakan telinga dan sehari-hari mengajar gerakan dance –dan Jiyeon akui kemampuan Jongin yang satu itu tidak diragukan, kini tengah terbaring sakit.

Dan otaknya hanya diketuk satu pertanyaan, apa yang membuatnya sakit?

Setelah meyakinkan dirinya, ia pun membuka pintu tersebut dan berjalan pelan ke arah ranjang pasien. Dan benar saja, itu adalah Jongin ‘mantan kekasih’ sahabatnya. Peria itu terlihat begitu buruk dengan selang infus yang tertancap di tangannya. Ditambah wajah pucatnya yang membuat sinar dari Jongin agak meredup. Dan saat ini Jongin tengah sibuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

Awalnya Jongin tidak menyadari ada seseorang yang tengah memandanginya. Namun, setelah ia mendengar sebuah langkah kaki mendekat, mau tak mau Jongin mendongak.

Dia sama sekali tidak terkejut ketika mendapati Jiyeon tengah berdiri tak jauh darinya. Ia hanya menatap datargadis itu dan langsung mengalihkan pandangannya. Ia merasa risih dengan kenyataan bahwa Jiyeon melihatnya dengan keadaan mengerikan seperti saat ini.

“Kau sendiri? Mana temanmu itu?” tanya Jiyeon basa-basi. Ia hanya mencoba mencairkan suasana kaku yang tiba-tiba menyempit di ruangan itu.

“Aku menyuruhnya pulang. Lagipula aku baik-baik saja. Rasanya aneh aku terlihat bergantung pada oranglain.”

Jiyeon mendengus pelan. Keras kepala dan penuh rasa gengsi. Hampir mirip dengan Suzy. Dan lagi-lagi ia dibekap rasa rindunya terhadap sang sahabat. Ia belum benar-benar bisa terbiasa dengan kenyataan bahwa sahabatnya kini telah menyandang gelar ‘nyonya’ dan membatasi semua aktivitasnya.

Jiyeon pun menarik sebuah kursi ke sisi ranjang dan duduk disana, “Jadi apa yang membuat seorang Kim Jong In terdampar di rumah sakit? Bukan karena lambungmu yang rusak karena alkohol, kan?”

Jongin mendesah pelan, matanya kini menatap malas Jiyeon, “Kau mengejekku? Jelas-jelas kau apotekernya. Kau yang membuatkan obatnya untukku. Apakah kau merasa membuatkan obat lambung untukku?”

Ah. Benar juga. Jiyeon lupa jika dia yang tadi membuatkan obat untuk Jongin. Dan ia juga lupa obat apa yang ia buatkan untuk Jongin tadi.

“Aku lupa.”

Setelah mendapat jawaban dari Jiyeon, ruangan itu mendadak sunyi dan hanya berhiaskan suara detik jarum jam yang terus berbunyi. Jiyeon yang mulai jengah akhirnya kembali memutuskan untuk angkat suara, “Jadi, kau takkan memberitahuku yang menyebabkanmu masuk ke ruangan ini?”

“Kenapa kau begitu ingin tahu?” ketus Jongin, “Kau ingin mengejekku atau mau menasehatiku? Percuma saja. Lebih baik kau kembali bekerja dengan ‘pekerjaan sehatmu’ daripada membuang waktumu disini Nona Park.”

Jiyeon mendengus pelan, “Kenapa aku harus melakukannya? Lagipula aku juga mengenalmu. Kau tetap kenalanku dan rasanya aneh jika aku berpura-pura tidak tahu jika kenalanku sakit dan dirawat di rumah sakit ini.”

“So’ peduli sekali. Bukankah kau sangat tidak menyukaiku?”

“Apa susahnya mengatakan penyebabnya, huh? Aku hanya bertanya apa yang salah?”

“Kwon Ji Young menusuk perutku. Dan Sonh Jowoon yang memerintahkannya. Kau puas?”

Mata Jiyeon langsung membulat mendengar nama Kwon Jiyoung. Sudah lama sekali ia tidak mendengar nama itu. Terakhir, ia mendapat tentang Kwon Jiyoung setelah Suzy membantu Soohyun untuk memenangkan sidang mengenai pelecehan seksual yang hampir menimpa Suzy dulu.

Sungguh. Itu sudah sangat lama. Bahkan ia juga tidak tahu jika Jongin ternyata mengenal Jiyoung.

“Kau kenal dengan…”

“Kami pernah bertemu sekali di club malam dulus etelah ia keluar dari penjara. Dia lagi-lagi mengganggu Suzy. Dan aku menghajarnya.”

“Kau melakukannya? Dan…bukankah kau bilang kau tidak takut dengan Jowoon?”

Jongin tersenyum masam, “Aku hanya bilang aku tidak takut. Aku tidak tahu pertemuanku dengan Jiyoung akan berakhir dengan tusukkan di perutku. Semuanya terlalu tiba-tiba.”

Jiyeon mengangguk mengerti, “Sepertinya kau begitu menyukai Suzy. Bahkan kau sampai tahu mendetail tentang hidupnya, suzy sama sekali tidak pernah bilang padaku jika dia pernah bertemu lagi dengan pria brengsek itu.”

Jongin tidak langsung menjawab, ia hanya diam sambil memainkan sumpitnya di atas makanan yang tadi sempat mengundang seleranya. Dan semuanya menguap begitu saja setelah nama Suzy kembali disebut dengan gamblang. Terlebih Jiyeon menyangkutkannya terhadap perasaannya.

Dan meskipun Jongin memaksa untuk mempertahankan Suzy, ia akan tetap merasa tidak pantas. Bagaimanapun Suzy berhak mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya. Bukannya terus berada disisi pria brengsek sepertinya. Bahkan Dongho pernah menghajarnya karena Suzy sempat mengkonsumsi narkoba lagi karena dirinya. Ia sama sekali bukan laki-laki yang baik.

“Kenapa diam? Makan lagi,” kata Jiyeon sambil mengambil alih makanan Jongin. Dan tanpa aba-aba, Jiyeon langsung mengarahkan makanan itu ke mulut Jongin.

“Kau mau apa?”

“Menyuapimu. Ucapan terimakasih karena kau telah melindungi sahabatku.”

“Dasar konyol.”

 

***

 

Myungsoo tersenyum kecil sambil menatap buah-buahan yang baru saja dibelinya. Dengan penuh rasa semangat, Myungsoo membuka pintu ruang inap Naeun dan langsung melangkah cepat ke dalam ruangan tersebut.

Dan Myungsoo semakin melebarkan senyumnya ketika ia melihat Naeun tengah semangat membaca sebuah tabloid. Ia terlihat jauh lebih sehat sekarang. Dan tentunya, ini membuat Myungsoo dapat sedikit bernapas lega.

“Kau sedang apa?” sapa Myungsoo yang mendapat sambutan hangat dari senyum Naeun.

“Menunggumu,”

Myungsoo tertegun mendengar jawaban Naeun. Entah sudah berapa lama ia tidak mendengar kalimat manja yang dilontarkan gadis itu. Yang ia tahu, ia kembali diselimuti rasa rindunya terhadap Naeun.

Tapi ia tidak begitu kentara menunjukkan semuanya. Ia pun segera menaruh bawaannya dan membawa sebuah jeruk dan berjalan ke arah ranjang Naeun kemudian duduk di sana.

“Kau coba ini. Tadi aku mencicipinya satu dan rasanya benar-benar manis,” ucap Myungsoo sambil mengupas kulit jeruk tersebut.

Naeun menatap sendu dengan setiap perhatian yang di berikan oleh Myungsoo. A bisa merasakan senang dan sesak secara bersamaan. Senang dengan kenyataan bahwa Myungsoo bis atersenyum kembali oleh jangkauannya, senang dengan kenyataan Myungsoo masih menaruh perasaan terhadapnya dan rela datang kemari demi dirinya.

Tapi di balik semua itu, Naeun juga merasa sesak karena satu hal pasti, Myungsoo bukan lagi miliknya. Hubungannya dengan Myungsoo sudah berakhir beberapa bulan lalu. Berakhir secara sepihak memang. Tapi Myungsoo kini telah terikat dengan gadis lain…

Ia tersenyum masam. Kenapa Myungsoo harus datang jika ia tidak ditakdirkan kembali untuknya? Dan kenapa Myungsoo bisa hidup bahagia sedangkan dirinya benar-benar merasa menderita…

Ia hanya mencintai Myungsoo. Hanya Kim Myungsoo dan tidak pernah sesentipun pikirannya berkelakar untuk mencari laki-laki lain untuk menggantikan Myungsoo. Dan ia tidak tahu, apakah ia bisa melepaskan Myungsoo lagi setelah laki-laki itu hadir kembali.

“Makan ini, aaa…”

Naeun membuka mulutnya dan mengunyah jeruk yang diberikan Myungsoo.

“Bagaimana rasanya? Manis, kan?”

Naeun mengangguk semangat. Kemudian ia membuka mulutnya lagi saat tangan Myungsoo mengarah padanya dan melahap kembali jeruk tersebut.

“Oppa…kau…apakah kau akan pulang kembali ke London?”

Tubuh Myungsoo langsung membeku ketika mendengar pertanyaan Naeun. Sebenarnya mudah hanya untuk menjawab “ya”, tapi ia seperti diteriaki bahwa ia tengah menyelingkuhi Suzy. Dan yang lebih buruk, ia tidak menghubungi istrinya itu beberapa hari ini.

“Oppa…kau tahu harusnya kau tidak pernah datang kembali. Aku…”

“Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Kau harus kembali sehat. Kau tidak melihat bagaiman kalang kabutnya kakakmu karena mengkhawatirkanmu, hmm?”

Naeun mengeleng pelan, “Tentu saja aku baik-baik saja. Karena kau ada disini Oppa. Tapi aku tidak menjamin semuanya akan baik-baik saja saat kau kembali. Akan sangat sulit untuk menyusun kekuatan tanpamu. Kau membuat usahaku sia-sia oppa.”

Myungsoo hanya terdiam mendengar ucapan Naeun. Dan meskipun otaknya memintanya untuk mengucapkan sesuatu, ia berakhir dengan keheningan yang ia ciptakan sendiri. Ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Naeun. Ia tidak tahu ternyata sesulit itu bagi Naeun.

“Aku mencintaimu Oppa. Sangat…dan aku yakin, kau juga masih mencintaiku.”

Myungsoo masih diam mendengarkan. Dan tubuhnya kembali membeku ketika mendengar ucapan Naeun.

“Oppa. Bisakah kau tidak meninggalkanku? Atau jika kau benar-benar harus kembali pada istrimu, bisakah kau tetap berada disini tanpa perlu meinggalkanku sejauh itu? Aku akan belajar melupakanmu tapi tidak dengan sekaligus. Aku…perlu belajar untuk itu.”

“Naeun-a…”

“Kumohon Oppa…” Myungsoo menelan ludahnya ketika melihat airmata Naeun kembali mengalir, karenanya. Dan itu benar-benar menyakitinya sangat banyak.

“Uljima…”

“Jinjja saranghae…oppa. saranghae…”

Myungsoo pun menarik tubuh Naeun ke dalam pelukannya. Tidak. Ia tidak tahu langkah berikutnya yang akan ia lakukan untuk Naeun. Tapi hati kecilnya terdorong untuk…melakukan sesuatu pada Naeun. Untuk membuatnya kembali tersenyum dan menjadi Naeun yang dulu.

Mianhae Suji-ya…mianhae….

 

23/06/14 07:46PM

6 respons untuk ‘To You (16)

  1. Ping-balik: Xue Han’s Library | Xia Han's Pen World

Tinggalkan komentar