(Don’t) Call Me Daddy ! [Chapter 3]

 

Title : (don’t) Call Me Daddy !
Main Cast: Lu Han, Ariel Lau (OC)
Other Cast : Find by yourself
Rating : PG
Length : Multi chapter
Auhtor : Nidhyun (@nidariahs)
Disclaimer : the story is pure mine. Also published
xiaohyun.wordpress.com
Cover by : Lee Shin Hyo @Cafe Poster Art

***

Beberapa tahun lalu, saat Ariel masih tinggal bersama dengan ayahnya, ia pernah bertetangga dengan seorang wanita hamil yang tinggal sendirian. Ariel sendiri tidak pernah menyapa ataupun mendapat sapaan dari wanita yang sama sekali tidak pernah terlihat membawa seseorang ke rumahnya tersebut. Bahkan, disaat melahirkan, wanita itu masih harus mengurus segala sesuatunya sendiri. Menyedihkan. Satu kata itu cukup untuk menggambarkan perasaan Ariel terhadap wanita yang ternyata melahirkan seorang anak tanpa ayah tersebut. Ariel sempat berpikiran jelek, karena wanita itu terlihat sok tangguh dan sok mampu melakukan segala sesuatunya sendirian. Padahal, menurut Ariel wanita itu masih cukup muda dan ia tentu saja bisa mencari pria lain. Meskipun tidak mudah, bukan berarti tidak mungkin bagi wanita itu mengakhiri segala kesulitannya, kan?
Ariel yang memang terkenal agak apatis dan serba melakukan semuanya sendiri, akhirnya mengerti dan melakukan hal yang tidak berbeda jauh dengan tetangganya itu. Meskipun masih sangat muda ketika melahirkan kedua anaknya, tapi naluri seorang ibu pada dirinya justru berkembang dan tumbuh semakin besar dari hari ke hari. Apalagi yang diperlukan seorang ibu selain melihat anak-anaknya bahagia?
Cinta seorang pria?
Bagi sebagian wanita yang terlanjur menggenggam status single parent justru akan memahami betapa rendahnya status cinta yang amat bergairah di masa muda, termasuk Ariel. Bertemu dengan pria lain yang mengaku mencintaimu dan menyanggupi hidup bersamamu dan kedua anakmu, bukan berarti seluruh kepercayaan itu tumbuh. Tiap jengkal di hatinya memiliki ketakutan, bagaimana jika kelak pasangannya tak lagi menyayangi kedua anaknya? Bagaimana perasaan kedua anaknya kelak saat tahu ayahnya bukanlah ayah kandung mereka? Atau bagaimana jika ia memiliki anak lagi dan….
Ariel pernah mengalami beberapa scenes pahit mengenai keluarga tiri. Ibu tiri, saudara tiri, dan Ariel tidak pernah menyukai mereka. Ia juga tidak menyukai ayahnya karena terlihat cenderung lebih dekat dengan mereka ketimbang dirinya. Ia selalu merasa menjadi orang asing dan kesepian. Ia juga tidak menyukai ibunya yang terkesan tidak menginginkannya dengan lebih memilih membiarkan Ariel tinggal bersama sang ayah dan memilih kehidupan baru dengan pria yang dicintainya. Ia tidak menyukai kedua orangtuanya beserta keluarga baru mereka. Dan Ariel memiliki ketakutan yang sama besar jika seandainya anak-anaknya juga mengalami hal yang sama.
Dan, bertemu dengan pria yang berstatus sebagai ayah kandung anak-anaknya juga ternyata sama sekali tidak menjadi solusi. Ini tentang perasaannya sendiri. Hati nalurinya tidak bisa menghapus sisa-sisa bekas luka dari kesakit hatiannya : fakta bahwa hidupnya berubah sulit karena pria yang baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumahnya tidak bisa ia sangkal. Kenyataan bahwa dirinya pernah mengharapan sosok pria yang pernah membuatnya merona dan membuat jantungnya berdegup tiap kali bertemu untuk kembali…membuatnya semakin terjatuh daam perasaan kelamnya.
“Ini masih cukup pagi, padahal kau bisa datang sore nanti,” Ariel pun berjalan menuju dapur dan mengambil minuman kaleng yang ia miliki. Dan Ariel beruntung masih dapat mengendalikan dirinya, mengendalikan perasaannya di hadapan pria di masalalunya tersebut.
Lelaki itu, Luhan, tampak tak mengacuhkan ucapan Ariel dan langsung menghampiri Aleyna dan Kevin yang sedang menonton kartun di depan TV. Kartun berbahasa Korea. Entah anak-anaknya mengerti atau tidak, tapi sejak tadi mereka tampak menikmati tayangan dan sesekali tertawa. Dan semenjak lelaki itu ikut bergabung, Aleyna justru tampak lebih bersemangat karena Luhan cukup interaktif bersamanya –walaupun Ariel perhatikan, terdapat permasalahan komunikasi karena perbedaan bahasa. Entah mengapa hal itu justru bisa membuat kehangatan tesendiri bagi Ariel. Setidaknya, ia tahu kedua anaknya tidak tampak menyedihkan seperti yang ia bayangkan sebelumnya.
“Kau sudah sarapan? Jika kau belum sarapan kau bisa sarapan disini,” Ariel pun menaruh minuman kaleng yang ia bawa di atas meja.
“Aku sudah makan roti sebelum berangkat tadi,” sahut Luhan tanpa menoleh ke arah Ariel yang baru saja menaruh minuman di atas meja. Ia lebih tertarik untuk mengobrol dengan gadis kecil yang kini duduk di pangkuannya.
“Kevin, do you wanna sit here?” kali ini Luhan mencoba menyapa Kevin yang justru menjauh dari Luhan dan duduk di ujung sofa. Anak laki-laki itu sepertinya sama sekali belum bisa menerima keberadaan Luhan yang menjadi ‘orang asing’.
“Mom…” melihat tangan Luhan mencoba untuk meraihnya, Kevin justru merengek pada Ariel yang masih memerhatikan kedua anaknya bersama dengan Luhan.
“It’s ok, honey,” Ariel pun tersenyum dan mencoba menarik Kevin ke gendongannya, “Paman ini orang baik. Kau lihat? Aleyna juga menyukainya,”
Luhan mengerutkan dahinya, mencoba mencerna kalimat yang baru saja diucapkan Ariel sembari mengangkat telunjuknya ke arah Luhan –sudah jelas Ariel membicarakan sesuatu tentang dirinya terhadap Kevin, dan setelah otaknya berhasil memproses kalimat itu, ia pun buru-buru memutar tubuhnya ke arah Ariel dan menatapnya tidak setuju, “Aku masih sangat muda, tahu! Mana mungkin aku adalah paman?” Luhan tidak menyadari intonasi suaranya yang ikut meninggi.
Selama persekian sekon, ruangan itu hanya diisi oleh bising TV dengan suara cempreng khas anak-anak, hingga Ariel berdeham dan menegakkan punggungnya, “Kau tidak perlu emosi…”
“Tapi bukankah keterlaluan kau mengajarkannya untuk memanggilku paman? Dia akan semakin merasa asing terhadapku,” Luhan pun mencoba untuk tersenyum –yang terlihat amat aneh di netra Ariel—kemudian kembali mengulurkan tangannya ke arah Kevin, sekali lagi ia membujuknya, “Kau mau duduk di pangkuan Gege?”
Dan…oh yeah. Harusnya Ariel tidak perlu merasa terkejut berlebihan apalagi sampai merasa tersinggung, tapi mendengar Luhan dengan gamblang menyebut dirinya ‘gege’ terhadap anak-anaknya –yang membuat Ariel merasa panggilan itu merujuk pada ‘orang asing’ bagi posisi Luhan. Tapi tetap saja, ada bagian hatinya yang selalu dongkol tiap kali Luhan melakukan interaksi dengan Kevin dan Aleyna.
Sedangkan Kevin yang diberi sambutan seperti itu justru semakin memeluk erat Ariel. Entah atas alasan apa Kevin terlihat sama sekali tidak menyukai Luhan. Padahal, saat bertemu dengan Dean, walaupun tidak dekat tapi Kevin bisa menyesuaikan diri dengan baik. Reaksinya saat bertemu dengan Luhan justru amat berkebalikan.
“Kenapa kau tidak menyukaiku?” gurat kecewa itu tergaris rapi di wajah Luhan. Sepertinya Luhan benar-benar penasaran dengan anak lelaki yang kebetulan memiliki mata yang amat mirip dengannya.
“Terkadang seorang anak memiliki ikatan batin dan merasakan perasaan yang sama dengan orang tuanya,” Ariel langsung menggit lidahnya sendiri, menyesali rentetan kata yang tanpa sengaja ia keluarkan.
Luhan pun menaikkan alisnya, “Ikatan…batin?”
Ariel pun menggeleng cepat dan mengibaskan tangannya, “Tidak! Lupakan! Aku akan pergi ke supermarket…”
“Biar aku antar.”
“Luhan…”
“Kita bisa pergi dengan anak-anak. Biasanya mereka menyukai tempat belanja,”
Ariel sedikit memiringkan kepalanya, mencoba memindai Luhan sekali lagi yang sangat menunjukkan bahwa dia sedikit kurang memahami masalah ikatan batin antara orang tua dan anak. Tidak. Ariel pikir seorang anak bisa merasakan setiap perasaan orang dewasa yang mencoba untuk mendekatinya.
“Tapi…”
“Ayo anak-anak! Kita belanja!”
Dan…baiklah. Mungkin Luhan harus sedikit belajar bagaimana mengasuh seorang…tidak, tapi kedua anaknya.

***

Mungkin, saat Luhan memutuskan untuk ikut mengantar Ariel ke supermarket dengan ide untuk membawa Aleyna dan Kevin, ia berpikir bahwa kedua anak itu akan ikut membantunya memasukan makanan dan kebutuhan lainnya ke dalam troli dan bertingkah manis sepanjang mereka berada di dalam supermarket. Sayangnya, Luhan tidak tahu bagaimana tingkah laku kedua anaknya yang akan menginjak usia tiga tahun ini saat berada di tempat perbelanjaan seperti ini.
“Aleyna…bisakah kau berhenti menyentuh semua benda? Kita tidak akan membeli semuanya, iya kan?” Luhan berusaha meminta bantuan pada Ariel saat Aleyna terus saja membawa benda yang terjangkau indranya.
Sedangkan Kevin, anak laki-laki itu sibuk mendorong troli –bahkan ketika Ariel tengah mengambil sesuatu untuk dimasukkan, Kevin terus saja memaksa untuk mendorong troli tersebut. Dan yang membuat mereka –tidak, mungkin hanya Luhan—mulai merasa sakit kepala ketika kedua anaknya terus saja ingin berada di tempat mainan.
“Kita bisa belikan masing-masing satu untuk mereka,” Luhan yang sejak tadi membujuk kedua anak itu untuk segera mengikuti sang ibu, sama sekali tak diindahkan. Baik Kevin maupun Aleyna terus saja menyentuh dan menaiki mainan yang dapat mereka lihat. Bahkan Kevin sudah merengek untuk dibelikan sebuah sepeda yang mirip dengan motor.
“Sudah kukatakan harusnya kau tidak membawa mereka kemari,” Ariel pun mendekat ke arah Aleyna yang sedikit lebih mudah dibujuk jika masalah mainan, “Aleyna, Mama sudah katakan, jika Mama tidak berjanji membelikan mainan maka kita tidak akan membeli mainan,”
Ucapan Ariel mirip seperti mantra ajaib dalam film. Meskipun sama sekali tidak mengeluarkan nada marah, tapi nada tegas dan ekspresi serius Ariel sangat ampuh untuk membungkam dan membujuk Aleyna agar berhenti merengek dan menyentuh semua mainan. Sayangnya, Kevin tidak terlihat peduli dengan ‘ancaman’ sang ibu.
“Kevin…”
“NO! KEVIN WANTS IT!” bahkan, Kevin sudah menolak untuk mendengar bujukan yang akan Ariel keluarkan.
“Kevin…”
“Kita belikan saja…”
“Kita tidak bisa mendidik anak-anak dengan cara seperti itu. Kau mungkin kaya, tapi aku tidak memiliki banyak uang. Anak-anak juga harus mengerti ada beberapa aturan yang harus dibuat dan dilakukan, perjanjian kami tidak akan membeli mainan tanpa kesepakatan terlebih dahulu. Aku tidak ingin mereka menjadi cengeng sejak usia dini,”
Luhan tahu Ariel tidak bermaksud memarahinya, tapi mimic dan warna suara Ariel begitu saja mampu membuat Luhan merasa tersudutkan dan…takut. Entahlah. Ariel benar-benar nampak menakutkan barusan.
“Kevin, Mama akan belikan eskrim, jika kau ingin tetap disini Mama tidak akan membelikanmu eskrim. Kita tidak datang kesini untuk membeli mainan,”
Dan…setelah agak lama membujuknya, Kevin pun akhirnya mau meninggalkan tempat mainan meskipun dia masih terlihat agak menangis di pangkuan ibunya. Luhan agak sedikit tersentuh…. Seingatnya, Ariel bahkan berusia lebih muda darinya. Tapi insting keibuannya tetap hadir dan tumbuh pada dirinya dengan baik.

***

Luhan tidak tahu mengasuh anak kecil benar-benar suatu tantangan yang amat besar. Ia tidak tahu mereka akan menangis sampai setengah jam lamanya hanya karena keinginan mereka tidak dikabulkan. Ia juga tidak tahu jika anak kecil akan memperebutkan benda di tangan anak lainnya –bahkan meskipun benda yang mereka miliki sama. Dan yang membuat Luhan harus mengurut keningnya saat Aleyna merebut makanan di tangan Kevin –padahal, tadi mereka dibelikan jenis makanan yang sama, tapi karena Aleyna lebih cepat memakannya, ia berpikir bahwa makanan Kevin seharusnya menjadi miliknya juga.
Merepotkan. Benar-benar merepotkan dan membuat kepalanya sangat sakit. Ia tidak habis pikir, bagaimana cara Ariel sendiria menghadapi dua anak kecil ini setiap harinya?
“Apa mereka selalu seperti ini setiap hari?” Tanya Luhan saat Kevin dan Aleyna mulai berhenti menangis.
Sekali lagi, Ariel membuat keajaiban dengan tatapan matanya yang berhasil membuat kedua anak itu langsung diam. Kemudian, ia pun mendudukan mereka berdua di salah satu bangku panjang dan membelikan masing-masing satu cup eskrim rasa vanilla. Sepertinya, bukan hanya anak-anak saja yang mulai tenang sesampainya di taman –dengan udara yang lebih menyejukan—dengan masing-masing eskrim di tangan mereka, tapi juga Luhan yang mulai merasakan ketenangan di telinganya.
“Menurutmu?” Ariel menjawab sekenanya. Bahkan disaat tenang seperti ini, ia masih sibuk mengurusi Aleyna dan Kevin. Di mata Luhan, entah mengapa Ariel selalu menyentuh apapun yang ada pada kedua anaknya : membenarkan pakaian mereka meskipun masih terlihat sama di mata Luhan, mengikat sepatu mereka dan mengeceknya berulang kali, menghapus sisa makanan di sudut bibir mereka, bahkan merapikan rambut kedua anak itu –yang menurut Luhan masih terlihat baik-baik saja.
Apa nanti Luhan juga harus melakukan semua itu?
“Oppa!”
Bukan hanya Luhan, tapi Ariel dan juga anak-anak langsung memutar kepala pada pemilik suara cempreng tersebut. Kemudian, Kevin menirukan kata “oppa” dengan suara manja yang sengau –persis seperti yang dilakukan gadis berambut sepunggung dengan lipstick merona di bibirnya. Karena lucu, Aleyna yang duduk di sampingnya ikut tertawa dan mulai mengulang-ulang kata “oppa” berbarengan dengan Kevin yang disusul cekikikan dari keduanya.
“Apa-apaan mereka,” dan si pemilik suara justru merasa jengkel, kemudian mendelik ke arah kedua anak itu dan juga Ariel yang duduk di samping mereka.
“K-kau disini…” Luhan mengalihkan perhatian pacarnya yang entah datang darimana dengan dua kantung belanjaan di kedua tangannya. Gadis ini pasti baru saja memenuhi rasa hausnya terhadap belanja.
“Lalu Oppa kemana saja? Aku meneleponmu sejak kemarin tapi kau tidak mengangkatnya,” gadis itu pun kemudian mengambil tempat duduk di samping Luhan, “Kyungsoo Oppa bilang kau terlihat murung. Kau baik-baik saja? Aku mengkhawatirkanmu…”
Sebenarnya, Luhan tahu pacarnya memang selalu bersikap manja, termasuk cara bicaranya yang…terdengar seperti merengek. Tapi Luhan menyukainya, ia selalu merasa gemas dan selalu ingin mencium bibirnya tiap kali gadis itu bicara. Gadis itu juga memiliki paras yang cantik dan tubuh yang…ekhm, seksi. Benar-benar tipe idealnya. Gadis yang dapat dibanggakan di depan teman-temannya, gadis yang selalu ia rindukan…. Terutama saat berada di atas ranjang.
Luhan meringis saat menyadari apa saja yang selama ini membuatnya menyukai sang kekasih. Dan…entah mengapa, rasa bangga yang selama ini ia tinggikan di hadapan semua tema-temannya mengenai sang kekasih sama sekali nol ketika memikirkan Ariel. Ia…entahlah, ia merasa malu di hadapan Ariel karena kekasihnya…. Belum lagi, Kevin dan Aleyna terus saja meniru gaya bicara kekasihnya sambil tertawa keras.
“Apa masalah kalian?” dan kekasihnya mulai terlihat jengkel karena kedua anak itu terus saja meniru gaya bicaranya.
“Maaf, mereka…”
“Kau ibu mereka? Wah…kau tampak masih sangat muda, pantas saja…”
“Mereka keponakanku,” Luhan buru-buru menyela sebelum kekasihnya menyerang Ariel dengan kalimatnya yang selalu tajam. Selama ini, ia selalu membela kekasihnya, tapi kali ini…ia sama sekali tidak ingin mendengar kalimat serangan itu ditujukan pada Ariel, apalagi kedua anaknya.
“Apa? Keponakan?” kekasih Luhan memutar kepalanya cepat, ia menatap Luhan lama –sedikit menyelidik, “Bagaimana bisa mereka adalah keponakanmu?” Hye In –nama kekasihnya—kembali memutar kepalanya ke arah Ariel, “Dan gadis ini…”
“Sepupuku, Aiden, adalah wali dari kedua anak itu,” Luhan pun menarik napas panjang, mendapati kedua mata Ariel yang terus mengikuti gerak bola mata Luhan justru membuatnya merasa bersalah, “Aku sedang menemani mereka saja. Mereka semua dari Amerika.”
Dan, Luhan merasakan lilitan ngilu di dadanya, tepat ketika Ariel memutar bola matanya sinis, Luhan semakin merasa dadanya digerayangi perasaan tidak nyaman.

***

Beberapa hari lalu, Luhan sangat yakin perasaannya amat tergangu karena keberadaan dua batita yang disebut sebagai darah daging Luhan secara tiba-tiba. Ia bahkan masih harus memikirkan segala macam kemungkinan yang harus ia lakukan –bukan hanya ketika ia mengasuh kedua anak itu nanti—tapi juga di masa depan. Memikirkan kenyatan bahwa ia telah memiliki anak, Luhan selalu saja memiliki hal yang harus dipikirkan.
Tapi, setelah pertemuan tak terduga antara Ariel –beserta kedua anak mereka—dan Hyein yang berstatus sebagai kekasihnya, justru membuat Luhan semakin merasa tidak nyaman. Bukan hanya karena kenyataan bahwa ia memiliki kekasih dan hidup amat tenteram –selain kuliahnya tentu saja—tapi…karena ia menyadari bahwa bagian dalam dirinya sama sekali belum bisa mengakui Kevin dan Aleyna adalah anaknya. Dan dari sudut pandangnya, sau-satunya yang merasa amat terganggu akan hal itu adala Ariel, selaku ibu dari kedua anak itu.
Bahkan, setelah mereka berada di dalam mobil dan juga setelah Luhan melakukan obrolan basa-basi, Ariel hanya menanggapi hanya senyuman –datar—dan juga gumaman yang tidak terlalu jelas. Dan meskipun merasa kesal dan jengkel secara bersamaan, Luhan tahu posisinya sama sekali tidak pantas untuk marah.
“Luhan…kurasa ini bukan…”
“Menginaplah di rumahku,” potong Luhan, “Kau bilang kau akan segera pergi ke Jeju. Kupikir anak-anak perlu mengenal…”
“Jika kau merasa keberatan…aku bisa membiarkan anak-anak kembali dibawa pulang oleh Jill. Jill sangat menyukai…”
“Kau marah padaku?” dan Luhan sama sekali tidak bermaksud menggunakan intonasi lebih tinggi, tapi ia benar-benar merasa kesal, “Baiklah, aku minta maaf karena kejadian tadi. Hyein memang perempuan seperti itu. Dan…dan kau tahu, kedatangan mereka sangat mendadak. Benar-benar terlalu mendadak dan aku bahkan belum bisa mempersiapkan diriku dengan benar. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan, apakah yang kulakukan sudah benar, apakah…apakah semuanya akan baik-baik saja untuk kedua anak ini karena memiliki ayah sepertiku?”
Kalimat yang Luhanlontarkan memang sama sekali tidak memberikan pengaruh besar untuk perubahan atmosfer mereka, tapi Luhan merasakan ada sesuatu yang menguap dalam dirinya –perasaan menyesakkan yang tidak bisa ia deskripsikan sejak tadi.
“Setiap orang perlu belajar saat menghadapi sesuatu yang baru, bukan? Dan setiap hari, aku harus terus belajar dan belajar. Kupikir setelah melewati jenjang sekolah yang pengap akan menjadikanku burung yang bebas terbang kesana-kemari. Aku memang lepas dari sangkarku, tapi…berada di alam bebas ternyata tidak lebih mudah daripada tinggal di dalam sangkar,”
Seandainya Luhan tidak pernah mendenar kisah masa lalu Ariel sebelumnya, seandainya ia tidak pernah tahu kesulitan apa yang pernah Ariel alami sebelum mereka bertemu tiga tahun lalu, mungkin Luhan bisa kembali menyangkal ucapa Ariel dan menyerang balik gadis itu. Luhan tak memiliki kekuatan apapun untuk membelanya, dan seandainya ia bisa, ia ingin menimpakan masalah ini pada orang lain –karena hingga saat ini ia masih menyayangkan sikap Ariel yang baru menemuinya di saat kedua anak itu sudah bertumbuh.
Tapi Luhan tahu semuanya. Ia terlanjur tahu dan member simpati juga empati di masa lalu, dan masih tersisa hingga saat ini. Bahkan perasaan-perasaan sejenis semakin membesar di dalam dirinya setelah ia melihat sendiri bagaimana sulitnya kehidupan Ariel setelah malam yang mereka lalui bersama.

=20170716 PM0848=

9 respons untuk ‘(Don’t) Call Me Daddy ! [Chapter 3]

  1. Nunggunya lamaaaaaa bgt, bacanya gk kerasa hehe. Tp empat jempol buat author.
    Ttp semangat, di tunggu chapter selanjutnya.

    Saran. Jangan terlalu berbelit2 ceritanya, takut bosen (walaupun kemungkinannya kecil) xixixi.
    Dan aku harap jangan terlalu lama update ff nya, tp kalo memang lg sibuk, ini udah cukup Dr pd td sama sekali.

    Suka

  2. Makin berat aja nih konfliknya,, ini bru chap 3 y aq nggu lma buat bca chap ini, tp krg pnjg nida. 😕
    Aq hrp chap slnjutnya Luhan bs lbh peka dan dwasa, Arielnya jg smg ga krs kpla.ga sbr pgn bca scene Luhan dtinggal ngrusin si kembar.
    Next chap kuhrp smggu skali y updatenya

    Suka

  3. Aku nunggu lamaaaaa banget crita ini eon, alhamdulillah udah update, tapi kok lebih pendek dari biasanya ya? Tapi gak papa, yang penting tetep diupdate.
    Chapter ini menurut aku lebih ke “sad”. Kasian liat luhan sama ariel nya juga. Sama2 masih gengsi soal apa yang ada dihari mereka sebenarnya. But, aku sula ceritanya. Semoga pas luhan tinggal sama anak2 nya, luhan jadi sayang ya sama sikembar.
    Ditinggu chapter selanjutnya ya eon, aku berharapnya sih ceritanya di ipdate gak kelamaan ya eon. Please update nya jangan kelamaan. Makasih eon:)

    Suka

  4. Ya ampun ya ampun ya ampun 😦 si luhan emang bener” yahh… Entah knp disini aku agak kurang suka sama luhan 😦 tak bisakah muncul cast cowok buat jadi anu nya ariel?? Aku udah terlanjur kecewa sama luhan 😦 next xhap nya thor jangan kelamaan 😀 tetap smangat yahh

    Suka

Tinggalkan komentar